Kritik dan Menghina Dua Hal Berbeda

Minggu, 16 Juni 2019 05:55 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Masyarakat harus bisa membedakan antara mengkritik dan menghina. Dalam hal mengkritik tentu harus mempunyai solusi. Kritikus bisa disebut kritikus bila ia mampu memberi masukan yang baik

Presiden Joko Widodo atau Jokowi bermain bola bersama cucunya, Jan Ether Srinarendra di Pantai Sanur, Bali, Sabtu 15 Juni 2019. Instagram.Jokowi menjadi salah satu sasaran kritik yang salah kaparah menjadi hinaan.

ak3

Dalam sebuah negara demokrasi mengkritik itu tidak dilarang. Kritik dibutuhkan untuk masukan, mengontrol agar pelaksanaan kegiatan atau hal- hal yang menyangkut kebijaksanaan dalam jalur yang benar. Setiap pemimpin dituntut mempunyai cara untuk mengatur negara meskipun  pendapat  berbeda antara satu dengan yang lain.

Jika tidak ada kritik, tidak ada masukan, tidak ada respon bahkan diacuhkan lebih tidak terhormat lagi. Indonesia  dengan tingkat pendidikan yang belum merata   pemerintah sering mendapat ujian. Ujian itu dari masyarakatnya sendiri. Banyak kebijakan yang sebetulnya memberi dampak positif tetapi kadang ditanggapi lain oleh orang- orang yang tidak sepaham, apatis dan selalu memandang negatif setiap kebijaksanaan. Dalam setiap rezim selalu ada pihak yang tidak suka tetapi ada yang terlalu fanatik kepada pemerintahnya.

Positif negatif tanggapan rakyat itu  karena garis politik yang membuat manusia menjadi tidak objektif. Saat ini ujian sedang datang tertuju pada Jokowi sebagai presiden dan mentri serta staf kepresidenannya. Kritik bertubi tubi terus datang, sementara sebetulnya pemerintah tengah bekerja keras meningkatkan level perekonomian negara. Kebetulan banyak kendala muncul saat pemerintahan tengah berjalan. Warisan utang dari pemerintahan sebelumnya, kebijakan untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur mendapat benturan dari masyarakat yang kurang paham dengan visi kabinet Indonesia kerja.

Banyak orang menilai bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintah yang tidak banyak berutang, memberi subsidi kepada masyarakat kecil, memberi stimulus pada warga masyarakat yang sedang bermasalah dengan usahanya. Pengangguran yang susah ditanggulangi, pemerataan pembangunan yang masih belum dirasakan masyarakat pelosok.

Isu- isu hutang, dan pemerataan pembangunan selalu akan menjadi bahan empuk untuk mengkritik pemerintah. Pengritik menganggap pemerintah abai, terlalu boros membelanjakan APBN hanya untuk infrastruktur, jalan tol, tol laut, penenggelaman kapal asing, kebijakan impor yang masih dilakukan sementara para pengritik dan oposisi mewacanakan jika ia menang kebijakan import akan dihapuskan rakyat akan dibuat adil makmur dengan mengurangi pembangunan infrastruktur, membangun akhlak, memberi ruang luas pada ormas agama berkembang pesat, memberi kesempatan luas masyarakat desa pindah ke kota, menyejahterakan petani dengan tidak mengimpor beras serta produk pertanian.

Yang sempurna dan menyangkut harapan masyarakat itulah yang sedang didongengkan kepada masyarakat. Dan kebetulan banyak orang pintar dan cerdas terbawa alur sehingga logika berpikirnya selalu beda dengan pemerintah.

Padahal pemerintah berani menanggung penderitaan dicaci maki masyarakat demi menyelamatkan generasi yang akan datang. Jangkauan infrastruktur tentu bukan dalam jangka pendek. Tol, proyek jalan, pelabuhan, dermaga, terminal, MRT, LRT, pembangunan akses perbatasan secara ekonomi tidak menguntungkan dalam jangka pendek tetapi akan sangat membantu mobilitas ekonomi di masa yang akan datang.

Sementara masyarakat sekarang menginginkan kesejahteraan secara instan, negara berkembang pesat, ekonomi terjamin dan harga - harga barang stabil cenderung turun. Gaji naik, pendapatan bertambah. Pengangguran berkurang, pekerjaan terbuka luas dan masyarakatnya bisa membeli mobil dengan mudah.

Bagaimana mencapainya. Mereka mengharapkan pemerintahan cekatan mengurangi hutang, menambah ekspor dan menghentikan keran impor. Bagaimana bisa? Idealisme masyarakat tentu harus didukung tetapi masyarakat harusnya realistis. Banyak yang harus dihitung. Pemerintah  butuh waktu panjang untuk menstabilkan ekonomi makro, menambah negoisasi dalam hal kerjasama dengan negara- negara lain. Dalam hal kerja sama antar negara   muncul hubungan timbal balik. Mana mungkin pemerintah menutup import jika ingin kerjasama dengan negara lain lancar. Setiap negara pasti mempunyai produk dalam negeri yang harus dieksport agar mendapat dana guna menutup utang- utang negara. Bahkan negara majupun mempunyai hutang dalam jumlah besar. Tetapi hutang itu tidak berdampak inflasi jika sesuai dengan pemasukan. Jika hutang masih dalam porsi wajar,  merupakan motivasi sendiri untuk segera melunasinya. Caranya dengan menggenjot eksport dan mendorong masyarakat kreatif meningkatkan produktifitas.

Banyak orang berpikir utang itu menyengsarakan hanya menambah susah masyarakat. Negara bisa bangkrut akibat utang yang menggunung. Kontrol masyarakat terhadap utang pemerintah itu positif, tetapi jika kritik itu bermuara pada asal beda, asal mengkritik dan kemudian nyinyir menyinggung fisik simbol- simbol negara, mengancam akan memenggal presiden, memberi istilah yang menyinggung perasaan, negara tentu berhak melindungi kepala pemerintahannya dari kritik- kritik di luar batas. Jika kritik yang dilontarkan masih dalam batas kewajaran tidak menjadi persoalan, tetapi mengritik asal mengkritik dengan membawa- bawa berita bohong dengan mengatakan PKI, apalagi membawa isu sensitif, etnis, agama dan sebagainya tentu sudah diluar batas kewajaran. Itu namanya penghinaan dan menghina dapat terkena pasal dan yang melakukannya bisa dijebloskan dalam penjara.

Masyarakat harus bisa membedakan antara mengkritik dan menghina. Dalam hal mengritik tentu harus mempunyai solusi. Kritikus bisa disebut kritikus bila ia mampu memberi masukan yang baik. Kritik yang baik tentu akan didengar, bahkan jika kritikan itu amat tajampun dengan masukan- masukan yang masuk akal  pemerintah akan mendengarnya.

Masalahnya banyak orang yang tidak bisa membedakan antara mengritik dan menghina. Bahkan wakil rakyat yang pekerjaannya seharusnya menjadi alat kontrol pemerintah, meskipun sebagai oposisi tentu tidak menutup diri untuk memuji pemerintah jika diperlukan karena sejumlah kebijaksanaannya yang positif.

Pemerintah sebenarnya tidak anti kritik tetapi oposisi sekarang ini sangat agresif menyerang dan menghina. Mereka sudah out of control, bencinya sudah sampai ubun- ubun sehingga logika apapun tidak akan memberikan efek. Mereka sudah benci buta sehingga kritikannya menjadi lebih ke arah  fisik bukan terhadap kebijakan pemerintah.

Apapun sekarang jika pemerintah sudah berusaha maksimal tetapi hasilnya belum seperti yang diharapkan masyarakat bukan hanya mengkritik tetapi ikut andil dengan mendorong diri sendiri bekerja maksimal. Itu saja sudah membantu pemerintah, tidak perlu sulit berpikir yang lebih besar. Kontribusi rakyat untuk keras dalam bekerja, menggunakan uang sesuai pendapatan itu sudah sumbangan nyata bela negara.Jika anda terlalu nyinyir dan suka menghina konsekwensinya andapun juga harus menerima jika anda sendiri di hina. Salam Damai.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Pakde Djoko

Seni Budaya, ruang baca, Essay, buku

0 Pengikut

img-content

Sidang MK Panggung Para Ahli Hukum

Senin, 24 Juni 2019 12:37 WIB
img-content

Kritik dan Menghina Dua Hal Berbeda

Minggu, 16 Juni 2019 05:55 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua